latar belakang pahlawan


Kata pengantar


Asssalamu’alykum wr.wb

             Puji syukur atas kehadirat tuhan yang maha esa karena dengan rahmat dan karunianya saya memperoleh kesempatan untuk membuat kliping yg berjudul :

Pahlawan Revolusi NKRI

Kliping ini memuat beberapa biografi pahlawan-pahlawan NKRI yg dilengkapi dengan biodata pahlawan tersebut serta latar belakang pahlawan tersebut dalam membangun Negara kesatuan republik Indonesia.

Semoga kliping ini dapat menambah ilmu pengetahuan pelajar dalam mempelajari perjuangan pahlawa-pahlawan NKRI.

Akhir kata saya ucapkan terima kasih


Wassalamu’alykum wr.wb


















Daftar isi

Kata Pengantar ………………………………………………………i


Daftar Isi…………………………………………………………………ii


Abdul Rahman Saleh..……………………………………………….1


Ir.H Djuanda Kartawidjaja………………………………………..4


Ki Hajar Dewantara…………………………………………………..7


Abdul Kadir Temenggung Setia Pahlawan………………14

Abdulrahman Saleh




Abdulrahman Saleh, Prof. dr. Sp.F, Marsekal Muda Anumerta, (lahir di Jakarta, 1 Juli 1909 – meninggal di Maguwoharjo, Sleman, 29 Juli 1947 pada umur 38 tahun) atau sering dikenal dengan nama julukan "Karbol" adalah seorang pahlawan nasional Indonesia, tokoh Radio Republik Indonesia (RRI) dan bapak fisiologi kedokteran Indonesia.


Kegiatan kedokteran dan militer
Setelah ia memperoleh ijazah dokter, ia mendalami pengetahuan ilmu faal. Setelah itu ia mengembangkan ilmu faal ini di Indonesia. Oleh karena itu, Universitas Indonesia pada 5 Desember 1958 menetapkan Abdulrachman Saleh sebagai Bapak Ilmu Faal Indonesia.

Ia juga aktif dalam perkumpulan olah raga terbang dan berhasil memperoleh ijazah atau surat izin terbang. Selain itu, ia juga memimpin perkumpulan VORO (Vereniging voor Oosterse Radio Omroep), sebuah perkumpulan dalam bidang radio. Maka sesudah kemerdekaan diproklamasikan, ia menyiapkan sebuah pemancar yang dinamakan Siaran Radio Indonesia Merdeka. Melalui pemancar tersebut, berita-berita mengenai Indonesia terutama tentang proklamasi Indonesia dapat disiarkan hingga ke luar negeri. Ia juga berperan dalam mendirikan Radio Republik Indonesia yang berdiri pada 11 September 1945.

Setelah menyelesaikan tugasnya itu, ia berpindah ke bidang militer dan memasuki dinas Angkatan Udara Ia diangkat menjadi Komandan Pangkalan Udara Madiun pada 1946. Ia turut mendirikan Sekolah Teknik Udara dan
Sekolah Radio Udara di Malang. Sebagai Angakatan Udara, ia tidak melupakan profesinya sebagai dokter, ia tetap memberikan kuliah pada Perguruan Tinggi Dokter di Klaten, Jawa Tengah.


Akhir hidup
Pada saat Belanda mengadakan agresi pertamanya, Adisutjipto dan Abdulrachman Saleh diperintahkan ke India. Dalam perjalanan pulang mereka mampir di Singapura untuk mengambil bantuan obat-obatan dari Palang Merah Malaya. Keberangkatan dengan pesawat Dakota ini, mendapat publikasi luas dari media massa dalam dan luar negeri.

Tanggal 29 Juli 1947, ketika pesawat berencana kembali ke Yogyakarta melalui Singapura, harian Malayan Times memberitakan bahwa penerbangan Dakota VT-CLA sudah mengantongi ijin pemerintah Inggris dan Belanda. Sore harinya, Suryadarma, rekannya baru saja tiba dengan mobil jip-nya di Maguwo. Namun, pesawat yang ditumpanginya ditembak oleh dua pesawat P-40 Kitty-Hawk Belanda dari arah utara. Pesawat kehilangan keseimbangan dan menyambar sebatang pohon hingga badannya patah menjadi dua bagian dan akhirnya terbakar.

Peristiwa heroik ini, diperingati TNI AU sebagai hari Bakti TNI AU sejak tahun 1962 dan sejak 17 Agustus 1952, Maguwo diganti menjadi Lanud Adisutjipto.

Abulrachman Saleh dimakamkan di Yogyakarta dan ia diangkat menjadi seorang Pahlawan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No.071/TK/Tahun 1974, tanggal 9 Nopember 1974.

Pada tanggal 14 Juli 2000, atas prakarsa TNI-AU, makam Abdulrahman Saleh, Adisucipto, dan para istri mereka dipindahkan dari pemakaman Kuncen ke Kompleks Monumen Perjuangan TNI AU Dusun Ngoto, Desa Tamanan, Banguntapan, Bantul, DI Yogyakarta.

Nama Ia diabadikan sebagai nama Pangkalan TNI-AU dan Bandar Udara di Malang. Selain itu, piala bergilir yang diperebutkan dalam Kompetisi Kedokteran dan Biologi Umum (Medical and General Biology Competition) disebut Piala Bergilir Abdulrahman Saleh.


Karbol
Mengharapkan semua lulusan Akademi Angkatan Udara dapat mencontoh keteladanan dan mampu mencapai kualitas seorang perwira seperti Abdulrachman Saleh, para taruna AAU dipanggil dengan nama Karbol. Hal ini pertama kali diusulkan oleh Letkol Saleh Basarah setelah beliau mengunjungi United States Air Force Academy di Colorado Springs, Amerika Serikat. Para kadet di sana dipanggil dengan nama Dollies, nama kecil dari Jenderal USAF James H Doollitle, seorang penerbang andal yang serba bisa. Ia penerbang tempur Amerika Serikat yang banyak jasanya pada Perang Dunia I


Kolonel H.Daan Jahja



                                               



Letnan Kolonel H. Daan Jahja lahir di Padang Panjang, 5 Januari 1925. Beliau seorang yang sederhana tapi sangatlah tegas dalam bertindak dan berjiwa kepemimpinan.
Pada umur 23 tahun, beliau menjadi Panglima Divisi Siliwangi, Jawa Barat. Beliau juga pernah menjabat jadi Gubernur Militer(Gubmil) Jakarta pada tahun 1950, yang pada waktu itu usia beliau masih 25 tahun dan pangkatnya Letnan Kolonel TNI.
Dalam tugasnya ketika menjabat jadi Gubmil Jakarta, beliau menghadapi banyak masalah dalam masyarakat, seperti aksi Kapten Westerling yang mau merebut kekuasaan negara karena tidak menerima kenyataan penyerahan kedaulatan oleh Belanda kepada Indonesia tanggal 27 Desember 1949. Aksi Westerling ditumpas.
Selain itu, pada awal 1950, Jakarta menghadapi berbagai masalah administratif dalam proses pembalikkan pemerintahan Jakarta kepada pola Indonesia, bukan Belanda. Daan Jahja sebagai administrator berhasil melaksanakan proses pengindonesiaan.
Pada usia 23 tahun, beliau sudah menjadi redaktur pimpinan surat kabar nasional, beliau membawahkan 40 orang wartawan yang dimana beberapa dari mereka lebih tua dari beliau.
Letkol H.Daan Jahja wafat pada tanggal 20 Juni 1985 tepat pada saat Idul Fitri 1405 sepulang beliau dari Masjid Sunda Kelapa setelah melaksanakan sholat Idul Fitri.


Ir.H djuanda kartawidjaja






Ir H Djuanda Kartawidjaja (1911-1963)
Pendeklarasi Negara Kepulauan

Perdana Menteri Ir H Djuanda Kartawidjaja, pada 13 Desember 1957 mendeklarasikan bahwa Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan. Pria kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat, 14 Januari 1911, itu dengan kepemimpinan yang berani dan visioner mendeklarasikan bahwa semua pulau dan laut Nusantara adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan (wawasan nusantara). Maka sangat bijak ketika hari Deklarasi Djuanda itu kemudian melalui Keppres No.126/2001 dikukuhkan sebagai Hari Nusantara.

Ir H Djuanda Kartawidjaja, lulusan Technische Hogeschool (Sekolah Tinggi Teknik) – sekarang Institut Teknologi Bandung (ITB), yang beberapa kali menjabat menteri di antaranya Menteri Perhubungan, Pengairan, Kemakmuran, Keuangan dan Pertahanan, itu sebelumnya sangat risau melihat pengakuan masyarakat internasional kala itu yang hanya mengakui bahwa batas laut teritorial selebar 3 mil laut terhitung dari garis pantai terendah. Itu artinya pulau-pula Nusantara dalam wilayan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamirkan 17 Agustus 1945, adalah pulau-pulau yang terpisah-pisah oleh perairan (lautan) internasional (bebas).

Negara-negara lain, terutama Amerika Serikat dan Australia, sangat berkepentingan mempertahankan kondisi pulau-pulau Indonesia yang terpisah-pisah itu. Tetapi PM Djuanda dengan berani mendobrak kepentingan negara-negara maju itu.

Dengan berani dia mengumumkan kepada dunia (Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957) bahwa segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk dalam daratan Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya, adalah bagian yang wajar dari wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan pedalaman atau perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan Negara Republik Indonesia.

Djuanda, dengan berani mengumumkan kepada dunia, bahwa wilayah laut Indonesia tidaklah sebatas yang diatur dalam Territoriale Zee Maritiem Kringen Ordonantie (ordonansi tentang laut teritorial dan lingkungan maritim) 1939, tetapi wilayah laut Indonesia adalah termasuk laut di sekitar, diantara, dan di dalam Kepulauan Indonesia.

Deklarasi tiu juga menyatakan penentuan batas laut 12 mil yang diukur dari garis-garis yang menghubungkan titik terluar pada pulau-pulau Negara Republik Indonesia akan ditentukan dengan Undang-undang.

Deklarasi itu ditentang oleh Amerika Serikat dan Australia. Namun, Djuanda dan para penerus dalam pemerintahan berikutnya, di antaranya Prof Dr Mochtar Kusumaatmadja dan Prof Dr Hasyim Djalal, dengan gigih berjuang melalui diplomasi sehingga konsepsi negara nusantara tersebut diterima dan ditetapkan dalam Konvensi Hukum Laut PBB, United Nation Convention on Law of the Sea (UNCLOS) 1982.

Dengan demikian, Indonesia menjadi negara kepulauan dan maritim terbesar di dunia. Memiliki wilayah laut seluas 5,8 juta km2 yang merupakan tiga per empat dari keseluruhan wilayah Indonesia. Di dalam wilayah laut itu terdapat sekitar 17.500 lebih dan dikelilingi garis pantai sepanjang 81.000 km, yang merupakan garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada.

Deklarasi Djuanda secara geo-politik memiliki arti yang sangat strategis bagi kesatuan, persatuan, pertahanan dan kedaulatan serta kemajuan Indonesia. Deklarasi Djoeanda dapat disebut merupakan pilar utama ketiga dari bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tiga pilar utama tersebut adalah: (1) Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang merupakan pernyataan Kesatuan Kejiwaan Indonesia; (2) Proklamasi 17 Agustus 1945 sebagai pernyataan kemerdekaan NKRI; Delarasi Djuanda 13 Desember 1957 sebagai pernyataan Kesatuan Kewilayahan Indonesia (darat, laut dan udara).

Secara geo-ekonomi Deklarasi Djuanda juga strategis bagi kejayaan dan kemakmuran Indonesia. Sebagai negara kepulauan dan maritim terbesar di dunia, Indonesia memiliki kekayaan laut yang sangat besar dan beraneka-ragam, baik berupa sumberdaya alam terbarukan (seperti perikanan, terumbu karang, hutan mangrove, rumput laut, dan produk-produk bioteknologi), sumberdaya alam yang tak terbarukan (seperti minyak dan gas bumi, emas, perak, timah, bijih besi, bauksit, dan mineral lainnya), juga energi kelautan seperti pasang-surut, gelombang, angin, dan OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion), maupun jasa-jasa lingkungan kelautan seperti pariwisata bahari dan transportasi laut.

Abdi Negara
Ir Djuanda seorang abdi negara dan abdi masyarakat. Dia seorang pegawai negeri yang patut diteladani. Meniti karir dalam berbagai jabatan pengabdian kepada negara dan bangsa. Semenjak lulus dari Technische Hogeschool (1933) dia memilih mengabdi di tengah masyarakat. Dia memilih mengajar di SMA Muhammadiyah di Jakarta dengan gaji seadanya. Padahal, kala itu dia ditawari menjadi asisten dosen di Technische Hogeschool dengan gaji lebih besar.

Setelah empat tahun mengajar di SMA Muhammadiyah Jakarta, pada 1937, Djuanda mengabdi dalam dinas pemerintah di Jawaatan Irigasi Jawa Barat. Selain itu, dia juga aktif sebagai anggota Dewan Daerah Jakarta.

Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, tepatnya pada 28 September 1945, Djuanda memimpin para pemuda mengambil-alih Jawatan Kereta Api dari Jepang. Disusul pengambil-alihan Jawatan Pertambangan, Kotapraja, Keresidenan dan obyek-obyek militer di Gudang Utara Bandung.

Kemudian pemerintah RI mengangkat Djuanda sebagai Kepala Jawatan Kereta Api untuk wilayah Jawa dan Madura. Setelah itu, dia diangkat menjabat Menteri Perhubungan. Dia pun pernah menjabat Menteri Pengairan, Kemakmuran, Keuangan dan Pertahanan. Beberapa kali dia memimpin perundingan dengan Belanda. Di antaranya dalam Perundingan KMB, dia bertindak sebagai Ketua Panitia Ekonomi dan Keuangan Delegasi Indonesia. Dalam Perundingan KMB ini, Belanda mengakui kedaulatan pemerintahan RI.

Djuanda sempat ditangkap tentara Belanda saat Agresi Militer II tanggal 19 Desember 1948. Dia dibujuk agar bersedia ikut dalam pemerintahan Negara Pasundan. Tetapi dia menolak.

Dia seorang abdi negara dan masyarakat yang bekerja melampaui batas panggilan tugasnya. Mampu menghadapi tantangan dan mencari solusi terbaik demi kepentingan bangsa dan negaranya. Karya pengabdiannya yang paling strategis adalah Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957.

Dia seorang pemimpin yang luwes. Dalam beberapa hal dia kadangkala berbeda pendapat dengan Presiden Soekarno dan tokoh-tokoh politik lainnya. Djuanda meninggal dunia di Jakarta 7 November 1963 dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.


Ki hajar dewantara




                                                 







Ki Hajar Dewantara Lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889.Terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Ia berasal dari lingkungan keluarga kraton Yogyakarta. Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka, berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Semenjak saat itu, ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya.

Perjalanan hidupnya benar-benar diwarnai perjuangan dan pengabdian demi kepentingan bangsanya. Ia menamatkan Sekolah Dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda) Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya sangat komunikatif, tajam dan patriotik sehingga mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.


Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Pada tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.


Kemudian, bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo, ia mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka.


Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini untuk memperoleh status badan hukum pada pemerintah kolonial Belanda. Tetapi pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg berusaha menghalangi kehadiran partai ini dengan menolak pendaftaran itu pada tanggal 11 Maret 1913. Alasan penolakannya adalah karena organisasi ini dianggap dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan menggerakan kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial Belanda.

Kemudian setelah ditolaknya pendaftaran status badan hukum Indische Partij ia pun ikut membentuk Komite Bumipoetra pada November 1913. Komite itu sekaligus sebagai komite tandingan dari Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda. Komite Boemipoetra itu melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis dengan menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut.

Sehubungan dengan rencana perayaan itu, ia pun mengkritik lewat tulisan berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een voor Allen maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga). Tulisan Seandainya Aku Seorang Belanda yang dimuat dalam surat kabar de Expres milik dr. Douwes Dekker itu antara lain berbunyi:

"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu.
Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingannya sedikitpun"
.

Akibat karangannya itu, pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg menjatuhkan hukuman tanpa proses pengadilan, berupa hukuman internering (hukum buang) yaitu sebuah hukuman dengan menunjuk sebuah tempat tinggal yang boleh bagi seseorang untuk bertempat tinggal. Ia pun dihukum buang ke Pulau Bangka.

Douwes Dekker dan Cipto Mangoenkoesoemo merasakan rekan seperjuangan diperlakukan tidak adil. Mereka pun menerbitkan tulisan yang bernada membela Soewardi. Tetapi pihak Belanda menganggap tulisan itu menghasut rakyat untuk memusuhi dan memberontak pada pemerinah kolonial. Akibatnya keduanya juga terkena hukuman internering. Douwes Dekker dibuang di Kupang dan Cipto Mangoenkoesoemo dibuang ke pulau Banda.

Namun mereka menghendaki dibuang ke Negeri Belanda karena di sana mereka bisa memperlajari banyak hal dari pada didaerah terpencil. Akhirnya mereka diijinkan ke Negeri Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman.

Kesempatan itu dipergunakan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran, sehingga Raden Mas Soewardi Soeryaningrat berhasil memperoleh Europeesche Akte.
Kemudian ia kembali ke tanah air di tahun 1918. Di tanah air ia mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan.

Setelah pulang dari pengasingan, bersama rekan-rekan seperjuangannya, ia pun mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922. Perguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan.

Tidak sedikit rintangan yang dihadapi dalam membina Taman Siswa. Pemerintah kolonial Belanda berupaya merintanginya dengan mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada 1 Oktober 1932. Tetapi dengan kegigihan memperjuangkan haknya, sehingga ordonansi itu kemudian dicabut.

Di tengah keseriusannya mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan di Tamansiswa, ia juga tetap rajin menulis. Namun tema tulisannya beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan. Tulisannya berjumlah ratusan buah. Melalui tulisan-tulisan itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.

Sementara itu, pada zaman Pendudukan Jepang, kegiatan di bidang politik dan pendidikan tetap dilanjutkan. Waktu Pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dalam tahun 1943, Ki Hajar duduk sebagai salah seorang pimpinan di samping Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan K.H. Mas Mansur.

Setelah zaman kemedekaan, Ki hajar Dewantara pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Nama Ki Hadjar Dewantara bukan saja diabadikan sebagai seorang tokoh dan pahlawan pendidikan (bapak Pendidikan Nasional) yang tanggal kelahirannya 2 Mei dijadikan hari Pendidikan Nasional, tetapi juga ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional melalui surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959. Penghargaan lain yang diterimanya adalah gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1957.

Dua tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa itu, ia meninggal dunia pada tanggal 28 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di sana.

Kemudian oleh pihak penerus perguruan Taman Siswa, didirikan Museum Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta, untuk melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hadjar Dewantara. Dalam museum ini terdapat benda-benda atau karya-karya Ki Hadjar sebagai pendiri Tamansiswa dan kiprahnya dalam kehidupan berbangsa. Koleksi museum yang berupa karya tulis atau konsep dan risalah-risalah penting serta data surat-menyurat semasa hidup Ki Hadjar sebagai jurnalis, pendidik, budayawan dan sebagai seorang seniman telah direkam dalam mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan Badan Arsip Nasional.

Bangsa ini perlu mewarisi buah pemikirannya tentang tujuan pendidikan yaitu memajukan bangsa secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial, dan sebagainya, serta harus didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan yang asasi.

Hari lahirnya, diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ajarannya yang terkenal ialah tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di depan memberi teladan).




Ki Hajar Dewantara Lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889.Terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Ia berasal dari lingkungan keluarga kraton Yogyakarta. Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka, berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Semenjak saat itu, ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya.

Perjalanan hidupnya benar-benar diwarnai perjuangan dan pengabdian demi kepentingan bangsanya. Ia menamatkan Sekolah Dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda) Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya sangat komunikatif, tajam dan patriotik sehingga mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.


Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Pada tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.


Kemudian, bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo, ia mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka.


Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini untuk memperoleh status badan hukum pada pemerintah kolonial Belanda. Tetapi pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg berusaha menghalangi kehadiran partai ini dengan menolak pendaftaran itu pada tanggal 11 Maret 1913. Alasan penolakannya adalah karena organisasi ini dianggap dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan menggerakan kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial Belanda.

Kemudian setelah ditolaknya pendaftaran status badan hukum Indische Partij ia pun ikut membentuk Komite Bumipoetra pada November 1913. Komite itu sekaligus sebagai komite tandingan dari Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda. Komite Boemipoetra itu melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis dengan menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut.

Sehubungan dengan rencana perayaan itu, ia pun mengkritik lewat tulisan berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een voor Allen maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga). Tulisan Seandainya Aku Seorang Belanda yang dimuat dalam surat kabar de Expres milik dr. Douwes Dekker itu antara lain berbunyi:

"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu.
Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingannya sedikitpun"
.

Akibat karangannya itu, pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg menjatuhkan hukuman tanpa proses pengadilan, berupa hukuman internering (hukum buang) yaitu sebuah hukuman dengan menunjuk sebuah tempat tinggal yang boleh bagi seseorang untuk bertempat tinggal. Ia pun dihukum buang ke Pulau Bangka.

Douwes Dekker dan Cipto Mangoenkoesoemo merasakan rekan seperjuangan diperlakukan tidak adil. Mereka pun menerbitkan tulisan yang bernada membela Soewardi. Tetapi pihak Belanda menganggap tulisan itu menghasut rakyat untuk memusuhi dan memberontak pada pemerinah kolonial. Akibatnya keduanya juga terkena hukuman internering. Douwes Dekker dibuang di Kupang dan Cipto Mangoenkoesoemo dibuang ke pulau Banda.

Namun mereka menghendaki dibuang ke Negeri Belanda karena di sana mereka bisa memperlajari banyak hal dari pada didaerah terpencil. Akhirnya mereka diijinkan ke Negeri Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman.

Kesempatan itu dipergunakan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran, sehingga Raden Mas Soewardi Soeryaningrat berhasil memperoleh Europeesche Akte.
Kemudian ia kembali ke tanah air di tahun 1918. Di tanah air ia mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan.

Setelah pulang dari pengasingan, bersama rekan-rekan seperjuangannya, ia pun mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922. Perguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan.

Tidak sedikit rintangan yang dihadapi dalam membina Taman Siswa. Pemerintah kolonial Belanda berupaya merintanginya dengan mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada 1 Oktober 1932. Tetapi dengan kegigihan memperjuangkan haknya, sehingga ordonansi itu kemudian dicabut.

Di tengah keseriusannya mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan di Tamansiswa, ia juga tetap rajin menulis. Namun tema tulisannya beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan. Tulisannya berjumlah ratusan buah. Melalui tulisan-tulisan itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.

Sementara itu, pada zaman Pendudukan Jepang, kegiatan di bidang politik dan pendidikan tetap dilanjutkan. Waktu Pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dalam tahun 1943, Ki Hajar duduk sebagai salah seorang pimpinan di samping Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan K.H. Mas Mansur.

Setelah zaman kemedekaan, Ki hajar Dewantara pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Nama Ki Hadjar Dewantara bukan saja diabadikan sebagai seorang tokoh dan pahlawan pendidikan (bapak Pendidikan Nasional) yang tanggal kelahirannya 2 Mei dijadikan hari Pendidikan Nasional, tetapi juga ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional melalui surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959. Penghargaan lain yang diterimanya adalah gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1957.

Dua tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa itu, ia meninggal dunia pada tanggal 28 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di sana.

Kemudian oleh pihak penerus perguruan Taman Siswa, didirikan Museum Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta, untuk melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hadjar Dewantara. Dalam museum ini terdapat benda-benda atau karya-karya Ki Hadjar sebagai pendiri Tamansiswa dan kiprahnya dalam kehidupan berbangsa. Koleksi museum yang berupa karya tulis atau konsep dan risalah-risalah penting serta data surat-menyurat semasa hidup Ki Hadjar sebagai jurnalis, pendidik, budayawan dan sebagai seorang seniman telah direkam dalam mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan Badan Arsip Nasional.

Bangsa ini perlu mewarisi buah pemikirannya tentang tujuan pendidikan yaitu memajukan bangsa secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial, dan sebagainya, serta harus didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan yang asasi.

Hari lahirnya, diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ajarannya yang terkenal ialah tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di depan memberi teladan).


Abdul Kadir Raden Temenggung Setia Pahlawan




                               




Abdul Kadir Raden Tumenggung Setia Pahlawan lahir di Sintang, Kalimantan Barat pada tahun 1771 Masehi. Ayahnya bernama Oerip dan ibunya bernama Siti Safriyah. Ayah Abdul Kadir bekerja sebagai hulubalang atau pemimpin pasukan kerajaan Sintang. Abdul Kadir sudah mengabdi sebagai pegawai kerajaan Sintang pada saat usianya masih sangat muda. Selama mengabdi di kerajaan Sintang, ia mampu melaksanakan tugasnya dengan baik. Ia pernah mendapat tugas dari Raja Sintang untuk mengamankan kerajaan Sintang dari gangguan pengacau dan perampok. Tugas tersebut dapat dilaksanakannya dengan baik. Abdul Kadir kemudian diangkat menjadi pembantu ayahnya yang menjabat sebagai Kepala Pemerintahan kawasan Melawi. Setelah ayahnya wafat, pada tahun 1845, ia diangkat sebagai kepala pemerintahan Melawi menggantikan kedudukan ayahnya. Karena jabatannya itu Abdul Kadir mendapatkan gelar Raden Tumenggung yang diberikan oleh Raja Sintang.
Dalam perjuangannya, ia berhasil mempersatukan suku-suku Dayak dengan Melayu serta dapat mengembangkan potensi ekonomi daerah Melawi. Namun demikian, ia juga berjuang keras menghadapi ambisi Belanda-datang di Sintang pada tahun 1820-yang ingin memperluas wilayah kekuasaannya ke daerah Melawi. Dalam menghadapi Belanda, ia memakai strategi peran ganda, yaitu sebagai pejabat pemerintah Melawi ia tetap bersikap setia pada Raja Sintang yang berarti setia pula pada pemerintahan Belanda. Tetapi secara diam-diam ia juga menghimpun kekuatan rakyat untuk melawan Belanda. Ia membentuk kesatuan-kesatuan bersenjata di daerah Melawi dan sekitarnya untuk menghadapi pasukan Belanda.

Pada tahun 1866, Belanda memberikan hadiah uang dan gelar Setia Pahlawan kepada Abdul Kadir Raden Tumenggung agar sikapnya melunak dan mau bekerjasama dengan Belanda. Namun demikian Abdul Kadir tidak merubah sikap dan pendiriannya. Ia tetap melakukan persiapan untuk melawan pemerintahan Belanda. Pada akhirnya di daerah Melawi sering terjadi gangguan keamanan terhadap Belanda yang dilakukan oleh pengikut Abdul Kadir Raden Tumenggung.

Pada tahun 1868, Belanda yang marah akibat sering mendapat gangguan keamanan kemudian melancarkan operasi militer ke daerah Melawi. Pertempuranpun tidak bisa dihindari antara pasukan Belanda melawan pengikut Abdul Kadir Raden Tumenggung. Dalam menghadapi Belanda, Abdul Kadir tidak memimpin pertempuran secara langsung, melainkan ia hanya mengatur strategi perlawanan. Sebagai kepala pemerintahan Melawi, ia bisa memperoleh berbagai informasi tentang rencana-rencana operasi militer pemerintah Belanda. Berkat informasi itulah, para pemimpin perlawanan dapat mengacaukan operasi militer Belanda.

Selama tujuh tahun (1868-1875) Abdul Kadir Raden Tumenggung berhasil menerapkan strategi peran ganda, namun akhirnya pemerintah Belanda mengetahuinya. Pada tahun 1875 ia ditangkap dan dipenjarakan di benteng Saka Dua milik Belanda di Nanga Pinoh. Tiga minggu kemudian ia meninggal dunia dalam usia 104 tahun. Jenasahnya dimakamkan di Natali Mangguk Liang daerah Melawi.

Abdul Kadir Raden Tumenggung Setia Pahlawan adalah seorang tokoh pemberani. Tokoh pejuang yang mampu menghimpun serta menggerakkan rakyat untuk melawan Belanda. Pemikirannya untuk melawan penjajah Belanda menjadi contoh bagi perlawanan rakyat selanjutnya. Atas jasa-jasanya dalam perjuangan menghadapi penjajah Belanda, maka pada tahun 1999 berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 114/TK/Tahun 1999 tertanggal 13 Oktober 1999, pemerintah Indonesia menganugerahkan Abdul Kadir Raden Tumenggung Setia Pahlawan sebagai Pahlawan Nasional. hizzband is offline 

nama-nama pahlawan



no
Nama
SK Presiden
Asal Daerah / Daerah Pengusul
Ket Photo
1.
Abdul  Muis
1883 – 1959
218 Tahun 1959
30 – 8 – 1959
Sumatera Barat

2.
Ki Hadjar Dewantoro
1889 – 1959
305 Tahun 1959
28 – 11 – 1959
D.I. Yogyakarta

3.
Surjopranoto
1871 – 1959
310 Tahun 1959
30 – 11 – 1959
D.I. Yogyakarta

4.
Mohammad Hoesni Thamrin
1894 – 1941
175 Tahun 1960
28 – 7 – 1960
DKI Jakarta

5.
K.H. Samanhudi
1878 – 1956
590 Tahun 1961
9 – 11 – 1961
Jawa Tengah

6.
H.O.S. Tjokroaminoto
1883 – 1934
590 Tahun 1961
9 – 11 – 1961
Jawa Timur

7.
Setyabudi
1897 – 1950
590 Tahun 1961
9 – 11 – 1961
Jawa Timur

8.
Si Singamangaradja XII
1849 – 1907
590 Tahun 1961
9 – 11 – 1961
Sumatera Utara

9.
Dr.G.S.S.J.Ratulangi
1890 – 1949
590 Tahun 1961
9 – 11 – 1961
Sulawesi Utara

10.
Dr. Sutomo
1888 – 1938
657 Tahun 1961
27 – 12 – 1961
Jawa Timur

11.
K.H. Ahmad Dahlan
1868 – 1934
657 Tahun 1961
27 – 12 – 1961
D.I. Yogyakarta

12.
K.H. Agus Salim
1884 – 1954
657 Tahun 1961
27 – 12 – 1961
Sumatera Barat

13.
Jenderal Gatot Subroto
1907 – 1962
222 Tahun 1962
18 – 6 1962
Jawa Tengah

14.
Sukardjo Wirjopranoto
11903 – 1962
342 Tahun 1962
29 – 10 – 1962
Jawa Tengah

15.
Dr. Ferdinand Lumban Tobing
1899 – 1962
361 Tahun 1962
17 – 11 – 1962
Sumatera Utara

16.
K.H. Zainul Arifin
1909 – 1963
35 Tahun 1963
4 – 3 – 1963
Sumatera Utara

17.
Tan Malaka
1884-1949
53 Tahun 1963
28 – 3 – 1963
Sumatera Utara

18.
MGR A.Sugiopranoto, S.J.
1896 – 1963
152 Tahun 1963
26 – 7 – 1963
Jawa Tengah

19.
Ir. H. Djuanda Kartawidjaja
1911 – 1963
244 Tahun 1963
29 – 11 – 1963
Jawa Tengah

20.
Dr. Sahardjo, SH
1909 – 1963
245 Tahun 1963
29 – 11 – 1963
Jawa Tengah

21.
Tjuk Njak Dhien
1850 – 1908
106 Tahun 1964
2 – 5 – 1964
D. I. Aceh

22.
Tjut Meutia
1870
107 Tahun 1964
2 – 5 – 1964
D. I. Aceh

23.
Raden Adjeng Kartini
1879 – 1904
108 Tahun 1964
2 – 5 – 1964
Jawa Tengah

24.
Dr. Tjiptomangunkusumo
1886 – 1943
109 Tahun 1964
2 – 5 – 1964
Jawa Tengah

25.
H. Fachruddin
1890 – 1929
162 Tahun 1964
26 – 6 – 1964
D.I. Yogyakarta

26.
K.H. Mas Mansur
1896 – 1946
162 Tahun 1964
26 – 6 – 1964
Jawa Timur

27.
Alimin
1889 – 1964
163 Tahun 1964
26 – 6 – 1964
Jawa Tengah

28.
Dr. Muwardi
1907 – 1948
190 Tahun 1964
4  – 8 – 1964
Jawa Tengah

29.
K.H. Abdul Wahid Hasjim
1914 – 1953
206 Tahun 1964
24 – 8 – 1964
Jawa Timur

30.
Sri Susuhunan Pakubuwono VI
1807 – 1849
294 Tahun 1964
17 –11 – 1964
Jawa Tengah

31.
K.H. Hasjim Asjarie
1875 – 1947
294 Tahun 1964
17 –11 – 1964
Jawa Timur

32.
Gubernur Surjo
1896 – 1948
294 Tahun 1964
17 –11 – 1964
Jawa Timur

33.
Jenderal Soedirman
1916 – 1950
314 Tahun 1964
10 – 12 – 1964
Jawa Tengah

34.
Jenderal Oerip Soemohardjo
1893 – 1948
314 Tahun 1964
10 – 12 – 1964
Jawa Tengah

35.
Prof. Dr. Soepomo, SH.
1903 – 1958
123 Tahun 1965
14 – 5 – 1965
Jawa Tengah

36.
Dr. Koesoemah Atmadja, SH.
1898 – 1952
124 Tahun 1965
14 – 5 – 1965

37.
Jend. TNI. Anm. Achmad Yani
1922 – 1965
111 /KOTI/1965
5 – 10 – 1965
Jawa Tengah

38.
Let. Jen. TNI. Anm. Soeprapto
1920 – 1965
111 /KOTI/1965
5 – 10 – 1965
Jawa Tengah

39.
Let.Jen.TNI.Anm.M.T. Harjono
1924 – 1965
111 / KOTI/1965
5 – 10 – 1965
Jawa Timur

40.
Let.Jen.TNI.Anm. S. Parman
1918 – 1965
111/ KOTI/ 1965
5 – 10 – 1965
Jawa Tengah

41
Mayjen. TNI. Anm.D.I. Pandjaitan.
1925-1965
111/Koti/1965  5-10-1965
Sumatra Utara

42.
Mayjen.TNI.Anm.Soetojo Siswomihardjo.
1922-1965
111/Koti/1965
5-10-1965
Jawa Tengah

43.
Kapten.CZI. Anm.Pierre Tendean 1939-1965
111/Koti/1965
5-10-1965
D.K.I. Jakarta

44.
Brigadir Polisi Anm. Karel Sasuit Tubun
1928-1965
114/Koti/1965
5-10-1965
M a l u k u

45.
Brigjen. TNI. Anm. Katamso 1923-1965
118/Koti/1965 19-10-1965
D.I. Yogyakarta

46.
Kol.Inf.Anm.Sugiono
1926-1965
118/Koti/1965 19-10-1965
D.I. Yogyakarta

47.
Sutan Sjahrir
1909-1966
76 Tahun 1966 9-4-1966
Sumatra Barat

48.
Laksamana Laut R.E.Martadinata 1921-1966
220 Tahun 1966 7-10-1966
Jawa Barat

49.
Raden Dewi Sartika
1884-1947
252Tahun 1966 1-2-1966
Jawa Barat

50.
Prof.Dr.W.Z.Johannes
1895-1952
06/TK/1968
27-3-1968
Nusa Tenggara Timur

51.
Pangeran Antasari
1809-1892
06/TK/1968
27-3-1968
Kalimantan
Selatan

52.
Serda.KKO. Anm.Djanatin Alias
Osman Bin Haji Mohammad Ali 1943-1968
050/TK/1968
17-10-1968
Jawa Timur

53.
Kopral.KKO.Anm.Harun Bin Said
Alias Tahir 1947-1968
050/TK/1968
17-10-1968
Jawa Timur

54.
Jend.TNI.Anm. Basuki Rachmat
1921-1968
01/TK/1969
9-1-1969
Jawa Timur

55.
A.F. Lasut
1918-1949
012/TK/1969
20-5-1969
Sulawesi Utara

56.
Martha Christina Tijahahu
1800-1818
012/TK/1969
20-5-1969
M a l u k u

57.
Maria Walanda Maramis
1872-1924
012/TK/1969
20-5-1969
Sulawesi Utara

58.
S u p e n o
1916-1949
39/TK/1970
13-7-1970
Jawa Tengah

59.
Sultan Ageng Titajasa
1631-1683
45/TK/1970
1-8-1970
Jawa Barat

60.
W.R. Soepratman
1903-1938
016/TK/1971
20-5-1971
Jawa Timur

61.
Nyai Achmad Dachlan
1872-1946
042/TK/1971
22-9-1971
D.I. Yogyakarta

62.
K.H. Zainal Moestafa
1907-1944
064/TK/1972
6-11-1972
Jawa Barat

63.
Sultan Hasanuddin
1631-1670
087/TK/1973
6-11-1973
Sulawesi Selatan

64.
Kapitan Pattimura
1783-1817
087/TK/1973
6-11-1973
M a l u k u

65.
Pangeran Diponegoro
1785-1855
087/TK/1973
6-11-1973
D.I. Yogyakarta

66.
Tuanku Imam Bondjol
1772-1864
087/TK/1973
6-11-1973
Sumatra Barat

67.
Teuku Tjik Ditiro
1836-1891
087/TK/1973
6-11-1973
D.I.Aceh

68.
Teuku Umar
1854-1899
087/TK/1973
6-11-1973
D.I. Aceh

69.
DR. Wahidin Soedirohoesodo
1852-1917
088/TK/1973
6-11-1973
D.I. Yogyakarta

70.
R. Otto Iskandardinata
1897-1945
088/TK/1973
6-11-1973
Jawa Barat

71.
Robert Wolter Monginsidi
1925-1949
088/TK/1973
6-11-1973
Sulawesi Utara

72.
Prof. Mohammad Yamin, SH
1903-1962
088/TK/1973
6-11-1973
Sumatra Barat

73.
Laksda.TNI.Anm. Josaphat Soedarso
1925-1962
088/TK/1973
6-11-1973
Jawa Tengah

74.
Prof.DR.R. Soeharso
1912-1971
088/TK/1973
6-11-1973
Jawa Tengah

75.
Marsda. TNI.Anm.Prof. DR.
Abdulrachman Saleh
1909-1947
071/TK/1974
9-11-1974
D.I.Yogyakarta

76..
Marsda, TNI Anm. Mas Agustinus Adisutjipto 1916-1947
071/TK/1974
9-11-1974
D.I.Yogyakarta